Selasa, 15 Maret 2011

KMKM~First Encounter (1st kiss)

Kill Me Kiss Me

~First Encounter~
1st  Kiss
13 Febuari, pukul 06.00
Breaking News: Selamat pagi pemirsa, bersama saya Mikami Teru, kami menyampaikan breaking news. Pagi ini, sekitar pukul 5.30 pagi terjadi ledakan gedung di pinggiran kota Tokyo. Sejauh ini Polisi menduga KIRA berada di balik peledakan yang merupakan ke 3 kalinya sejak 2 minggu terakhir, dikarenakan gedung tersebut adalah kantor kreditor yang  diduga menjalankan bisnis illegal. Belum diketahui berapa jumlah korban dalam peristiwa ini” pria di dalam layar kaca terdiam dan memegangi earphonenya, sementara di belakangnya tampak  gambar gedung yang diselimuti api. “Reporter kami akan melaporkan langsung dari tempat kejadian u---Pats----“layar televisi gelap seketika.
“HEI!!!” pemuda berambut merah bangkit dari sofa memutar tubuhnya 180 derajat dari televisi ke blonde yang berjongkok di depan kulkas.”Mello, berikan remotenya!”
Mello tak menggubris teriakan protes, tetap berkutat di depan kulkas yang terbuka dan melemparkan remote di tangan kanannya ke dalam tong sampah. “MELLO!!”bentak si pemuda yang mengenakan piyama loreng hitam merah.
“Perusahaan itu menyelundupkan ganja hingga 1 ton pertahun selain melakukan money laundry. Yang mati karena ledakan 3 orang, 2 orang diantaranya pemimpin perusahaan dan satunya lagi aparat korup yang mereka suap” Mello mengeluarkan kepalanya dari kulkas, mulutnya menggigit coklat almond yang beku. “Dan bomnya menggunakan timer bukan remote.Apalagi yang ingin kau dengar?”.Mello berdiri menghadap Matt.
Matt menghela nafas panjang lalu berjalan mendekati pemuda berpakaian serba hitam itu. “Yang aku ingin dengar itu opini masyarakat,Mello. Yah, tapi kau kumaafkan. Lagipula… kali ini kerjamu sangat cepat.  Memancing ketiga orang itu berkumpul lalu menghabisi mereka bersama dengan sarangnya. Tak salah kau dijuluki jenius penyusun strategi” Matt berdiri di depan Mello. Tangannya terulur melewati pundak Mello dan menutup pintu kulkas “Terima kasih, berkatmu Kira the Jackal dari daerah kumuh Chicago kini jadi pahlawan pembasmi kejahatan yang mendunia”
Mello tersenyum sinis “Bagiku kau tetap bocah brengsek”. Dia mengunyah coklatnya, dan memelototi Matt yang menghalangi jalannya. Namun pemuda pengoleksi goggle itu tak bergerak, memenjarakan Mello dalam kedua lengannya. “Minggir!”perintah Mello terdengar bagai angin lalu di telinga Matt
“Hei Mello, apa kau tahu?”Matt menatap Mello lembut. “ Tanggal 14 febuari di Jepang para gadis memberikan coklat kepada pria yang dia sukai. Jadi bagaimana kalau kau memberiku coklat besok?”
“Kalau kau tidak keberatan dengan coklat sianida” Matt merinding mendengar jawaban Mello. Kalau Mello, coklat sianida bukanlah hal yang baru. Entah sudah berapa orang yang jadi korban coklat beracunnya.
Mello mengangkat kedua tangannya. Tidak, dia tidak menyerah, karena kini dia mendekatkan wajahnya pada Mello sehingga ujung hidung mereka bersentuhan. “Kalau begitu”nafas panas Matt menyapu wajah Mello “Sebelum aku mati, bagaimana kalau kita lanjutkan yang semalam?”
“DBUKKK!”
Sebuah tinjuan melayang ke pipi Matt, membuatnya terlempar 5 kaki dan mendarat dengan keras ke lantai. “Auw! Kenapa kau sadis padaku,Mello?” Matt memegangi pipinya yang lebam. Darah mengalir dari sudut bibirnya. “Aku kan hanya bercanda”
Mello tidak mengacuhkan Matt dan berjalan menuju sofa panjang di depan TV. Dia menyandarkan tubuhnya dan melihat keluar jendela. Butir-butir salju turun perlahan, menutupi jalanan dengan warna putih. Pemandangan itu membawa ingatan Mello pada perjumpaan pertamanya dengan orang yang akan mengabulkan permintaannya “Aku sudah membantumu sejauh ini. Kuharap kau tidak lupa dengan perjanjian kita”.
“Tentu saja” Matt tersenyum pedih. Dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai ubin yang dingin. “Sesuai janjiku padamu…” Matt memejamkan matanya, “Setelah semua berakhir, aku pasti akan membunuhmu”
*M*
Mungkin kalian bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? Apa sebenarnya perjanjian yang mereka buat? Bagaimana semuanya berawal? Dan siapa sebenarnya mereka? Untuk mengetahuinya kita coba memundurkan waktu. Bagaimana dengan sebulan yang lalu? Kita lihat…
*M*
31 Desember, pukul 23.53
Kau… Hhh… apa yang, kau masukkan, ke dalam minumanku?” dada Matt sesak, nafasnya terdengar berat dan terputus-putus. Tubuhnya tak mampu digerakkan dari ranjang berbentuk hati. Cahaya lampu disco memenuhi kamar berwarna merah. Namun Matt tak dapat melihatnya karena wajah Mello memonopoli penglihatannya. “Menyingkir dari tubuhkku, Hhh…aku harus-”
Perkataan Matt terputus oleh suara belati yang menancap di bantal, dua millimeter dari pipi kanannya yang kini tergores dan mengalirkan darah segar. Bulu angsa berhambur keluar dari bantal, memberi warna salju di kamar yang panas. “Harus apa? Mati?!” Mello melepaskan tangan kirinya dari belati dan menyentuh luka di pipi Matt. Mello menatap tajam ke dalam mata Matt, nafasnya memburu.“Kurasa kau sudah lupa, jadi kuingatkan lagi… Kau milikku, KIRA!”
*M*
Bukan… bukan yang ini… ini bukan pertemuan pertama mereka. Mundur sedikit lagi ke belakang. Pada saat pertemuan yang telah digariskan oleh takdir, pertemuan yang bagaikan hadiah gelap dari sinterklas.
*M*
24 Desember, pukul 23.32
Malam natal, anak-anak berdoa sebelum tidurnya agar sinterklas membawakan hadiah yang mereka idamkan. Tentu saja sinterklas tidak ada, namun perannya telah digantikan oleh orang dewasa yang menyayangi mereka. Diam-diam kado impian diantarkan sebagai hadiah karena telah menjadi anak baik selama setahun ini.
Tapi apa yang terjadi pada mereka adalah kebalikannya.
Mereka tidak menjadi anak baik, terlebih lagi mereka bukan anak-anak. Namun sinterklas tetap datang pada  mereka berdua, mengantarkan hadiah yang mereka impikan seumur hidup dalam wujud manusia yang paling mereka benci.
Mereka adalah sinterklas bagi satu sama  lain. Sinterklas yang bertemu dalam kegelapan malam  natal, dalam aroma kematian, di lorong buntu yang terbentuk oleh dinding dua gedung penuh pendosa, di bawah bulan purnama yang berwarna merah.
Disinilah semua bermula. Dari sinilah cerita bergulir.
Di ujung mulut lorong, seorang pemuda berambut emas berdiri tegap. Tak tampak ekspresi di wajahnya, datar seperti patung porselen, tak ada gerakan di tubuhnya, selain mulutnya yang bergerak perlahan menghancurkan bongkahan coklat hitam.
Purnama memberikan cahaya bagai lampu sorot, menampilkan pemandangan yang seharusnya membuat si rambut emas bergidik ngeri atau menahan nafas karena takut yang mencekam. Tapi tidak, dia tidak bereaksi, hanya diam menyaksikan apa yang ada di ujung lorong buntu.
Di sana, di ujung lorong yang buntu oleh dinding bata kecoklatan, seorang pemuda duduk bersandar. Dari mulutnya keluar kepulan awan, memeriahkan langit malam yang dingin. Matanya tertutup oleh goggle, namun rambutnya yang merah menyala dan tumbuh berantakan memberikan peringatan, larangan untuk mendekat.
Pemuda berambut merah itu sama sekali tidak menyadari keberadaan sepasang mata yang mengawasinya. Tangan kirinya menyelipkan rokok ke bibir yang menghitam, sedang tangan kanan berbungkus sarung tangan hitam basah oleh cairan merah kental. Di ujung tangan penuh darah itu tergenggam rambut hitam dari kepala berwajah menyedihkan. Matanya terbelalak, memutih penuh kengerian, mulutnya terbuka, kulitnya sepucat mayat dan mati. Seolah dia melihat setan dari neraka sebelum merenggang nyawa. Dari lehernya mengalir darah segar, darah yang tak dapat kembali ke jantung karena sang leher telah lepas dari tubuhnya.
Suara kunyahan coklat terdengar seirama dengan langkah si rambut emas. Tak ada takut di matanya, hanya kosong, mata yang mati. Hingga kakinya menyentuh tubuh tanpa kepala, 5 meter di depan pemuda berambut merah yang kini mendongakkan wajah dengan percikan darah segar.
Mereka bertatapan dalam diam.
Perlahan warna kematian di mata rambut emas berubah menjadi harapan. Mata seorang anak yang melihat santa datang khusus untuknya. Senyum tipis perlahan tersungging.
Mata pemuda yang ditutupi goggle justru sebaliknya. Dia seolah melihat hantu. Tak pernah terbersit dalam pikirannya bahwa ada orang yang masih tersisa. Matanya terbelalak, penuh kepanikan. Dia melepaskan kepala di tangan kanannya dan menarik keluar benang tipis berwarna keperakan dari sakunya.
Mulut kedua pemuda itu baru saja terbuka, seolah ingin mengucapkan kata-kata paling penting seumur hidupnya. Bukan kata lamaran, bukan pula kata-kata terakhir. Tapi kata-kata dari harapan yang selama ini mereka cari. Namun kata-kata itu tidak dapat terucap, tidak di lorong berbau darah ini, berkat sebuah teriakan yang memanggil nama pemuda rambut emas.
“MELLO-SAN!!” suara pria yang berat terdengar begitu dekat, terdengar bagai dentang bel kematian bagi pemuda berlumuran darah. Tapi tidak, ini bukan waktu kematiannya.
Pemuda rambut emas, Mello, menghilangkan senyum dari wajahnya, mengembalikan warna kematian pada matanya dan berbalik memunggungi sang pembunuh. Dia berjalan keluar dari lorong buntu itu, meninggalkan sinterklasnya.
“Ah, Mello-san. Kau kemana saja?” dua orang lelaki dewasa berwajah asia berlarian mendekatinya. “Berbahaya sekali keluar sendirian. Kau tahu, sekarang KIRA si pembunuh berantai itu mulai beraksi di Chinatown. Kemarin mayat Mr.Chan ditemukan di danau Michi-”
“BERISIK!” Mello membentak pria berambut keribo di depan wajahnya, menghentikan kata-kata yang tampaknya tak akan pernah usai. Pria kurus di sampingnya cekikikan. “Kau juga Matsuda Idiot!!” satu bentakan lagi dan hilanglah suara dari dunia gendang telinga selain angin yang sayup-sayup membisikkan lagu natal.
Mello memenuhi paru-parunya dengan oksigen. Darah dalam tubuhnya bergejolak dan berteriak mengharapkan kado natalnya yang tertunda. “Kalian kembali dulu ke markas. Aku menyusul”.
Dua pria itu tidak patuh begitu saja. Si kribo kembali bertanya. “Di lorong itu… ada apa di sana?”
Matt melirik lorong tempat sinterklasnya berada. “Tidak ada apapun Aizawa. Ah, mungkin kau bisa menemukan otak Matsuda di dalam tong sampah di sana”
Matsuda merenggut, dengan setengah berbisik berkata “Aku tidak seidiot itu kan?”. Aizawa mati-matian menahan tawa sambil berlalu dari hadapan Mello.
Mello menunggu dua pengawalnya lenyap dari pandangan untuk kembali ke lorong yang menyisakan bau darah pekat.
Lorong itu kini kosong. Tak ada sang pembunuh berambut merah, tidak ada kepala yang terpenggal maupun tubuh yang terlantar. Hanya darah berwarna merah tercecer di semen retak, memberikan bukti bahwa apa yang di saksikan Mello bukanlah déjà vu. Sama seperti sebutir salju pertama yang jatuh menyentuh ujung hidungnya.
Perlahan salju putih berjatuhan dari langit hitam. Memberikan warna kontras pada dunia. Mello berdiri di depan dinding bata tempat sang santa bersandar. Tangannya menyentuh bata yang terkikis oleh waktu, berharap seseorang muncul dari baliknya. Dingin semakin kuat menyergap, membunuh niatnya untuk tetap diam berdiri, menunggu sinterklas untuk datang kembali.
Harapan yang sempat tumbuh nyaris mati. Namun harapan itu terselamatkan saat kaki Mello menyentuh sebuah benda di tempat sinterklas berjuluk KIRA duduk. Dia memungut benda berwarna hitam namun merah oleh darah. Sedetik dia terkesiap, bagai terkena setruman listrik, namun di detik berikutnya dia kembali seperti patung batu.
Mello menatap benda di tangannya dengan mata yang sendu, antara rindu dan keharuan yang tak terbendung. Dia menggenggam erat benda itu lalu mendekap kedua tangannya di dada. Matanya menatap langit yang terus menjatuhkan kepingan salju. Jam digital di tangannya ber-beep pelan, menandakan hari yang berganti. Sebuah kata terucap bagi dunia.
“Merry x-mas”
Continued…
















Read Kiss Me Kill Me_ First encounter 2nd Kiss

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar kamu di sini