Minggu, 27 Maret 2011

Kill Me Kiss Me~First Encounter (6th Kiss)


Kill Me Kiss Me
~ First Encounter ~
6th Kiss
Apa kau mendengarnya?”
Hanya ada satu detak jantung  yang  mengisi kamar dalam rumah sakit itu, hanya ada satu tubuh yang berdiri sedang tubuh lainnya berbaring dalam tidur panjang, seperti putri tidur. Hanya saja orang yang kini bicara pada sang putri bukanlah pangeran  melainkan seorang pendosa. Seorang Mello, pengkhianat yang bahkan dibenci oleh kematian. 
Mello menggenggam tangan Misa yang dingin dengan kedua tangan hangatnya. Dia memandangi wajah Misa lekat-lekat dengan mata yang sayu. Dia berdiri tegak di atas kakinya yang terluka lalu merunduk, kembali mendekatkan wajahnya ke putri tidur yang tak akan terbangun.
Mello berbisik lembut kontras dengan tubuhnya yang gemetar. “Kira mau menyelamatkanmu. Lalu aku harus menjagamu. Padahal kau…ya, jadi… ma-” kata-katanya seolah di sembunyikan kegelapan, tak ada yang mendengar selain Mello sendiri dan seseorang dalam mimpi.  Dia mengecup kening Misa perlahan bersama kata terakhir sebelum keluar dan meninggalkan Misa sendirian.
左様なら妹ちゃん”.
_*M*_
a/n: Tiap baca chapter ini mew teringat masa lalu saat mata mew berkaca-kaca, bukan karena isi cerita tapi karena waktu nulis ini komputer error dan meski harus motong uang jajan untuk bisa upload fanfiction, ternyata review d ff.net justru semakin sedikit. Waktu itu mew masih siluman yang emosional (Gaya lebay, padahal baru 2 tahun).
Mungkin udah banyak yang sadar,tapi mew mau kasi tau lagi tulisan ini adalah narasi untuk KMKM, dan  akhirnya di bagian ini Mew bisa mengeluarkan dia lagi. Padahal narasi ini penting, tapi bisa-bisanya Mew lupa. (kucing pikun). Padahal detail seperti senjata Kira (Mew Love it) dan hobi misa nyolong makanan ngga lupa.
Rahasia perlahan tapi pasti mulai terkuak. Dan ini dia cerita angst tapi ngga angst juga, coz Mew bisa nangis kalo nulis Angst beneran. 2 chapter terakhir sebelum memasuki kembali dunia humor penuh warna. Maafkan kucing ini atas lambatnya update. Mew saangaat lambat kalau harus nulis angst, selain itu ngga ada yang bantuin edit lagi *kitty eyes pleading for help*. Selamat membaca!!
_*M*_
Ini adalah kisah tentang mereka.
Kisah Kira, sang Mafia dan kegelapan yang menyelimutinya.
Kisah yang tertulis di atas kertas kematian dengan tinta darah, berpena sumpah dan tawa bahagia. Bersampul air mata dan kebohongan.
Kisah para pendosa yang terkurung dalam kutukan masa lalu.
Ini adalah kisah tentang kami
31 Desember, 22.30
Matt mematikan bara dari putung rokok terakhirnya sementara bartender menuangkan sherry ke dalam gelasnya yang sudah kosong.  Musik yang menghentak-hentak bercampur dengan bunyi terompet murahan. Para pria dan wanita turun ke lantai dansa dengan topi kertas di atas kepala mereka. Aku dan pesta tahun baru di bar bawah tanah… menyedihkan.

“Sendiri di malam tahun baru?” bartender asia berkacamata dengan rambut ikal mencoba berbasa-basi. Matt membaca tag nama yang tersemat di dadanya. Tertulis: Shingo Mido.

“Aku sedang menunggu seseorang.” Matt menaikkan goggles yang di kenakannya ke atas kepala. “Atau lebih tepatnya mengincar seseorang.” Matt menenggak sherry sedang matanya mengawasi ruang yang terpisah oleh tirai putih tipis, tempat ‘private party’ sedang di  langsungkan. 

Di depan pintu (walau hanya ada tirai) berdiri 2 orang bertubuh tinggi- besar, T-shirt hitam yang ketat membuat otot-otot mereka bertonjolan, kepala botak dan kacamata hitam yang mereka kenakan semakin melekatkan kesan bodyguard. Kontras dengan penjaga, dari balik tirai terlihat siluet 5-7 perempuan meliuk-liukkan tubuh sexi mereka di depan klien yang melucuti pakaian mereka satu persatu.

 “Apa kau bisa membantuku bertemu dengan orang itu?” Matt menunjuk ke arah ruang tempat private party. “Onegai, Mido-san”. Dengan bahasa dan logat Jepang sempurna, Matt kini mendapat seluruh perhatian dari sang bartender. Kelemahan imigran, teman setanah air. 

“Panggil saja Shingo” mata Shingo mengikuti arah jari Matt “Kalau yang kau maksud seseorang itu adalah perempuan di sana Maitta!” Shingo mengangkat kedua tangannya, menyerah. “Gomen,bukannya aku tidak mau membantu. Tapi, kau tahu siapa orang di dalam sana?!” Shingo membelalakkan matanya, memasang wajah sehoror mungkin.

“Pertama, yang ku incar bukan perempuan. Kedua, ya… aku tahu orang di dalam sana.” Matt mengetukkan gelas kosongnya ke meja, meminta refill. Matanya nanar, bersama pikirannya yang kembali ke masa lalu. “Tentu saja aku tahu… karena dia saudara sedarah dari Misa, dari kakakku.”

Ingatan Matt terlempar ke masa lalu, membawa kembali suara-suara di dalam kamar rawat Misa.
“Dia calon Don berikutnya, cucu Don Samuel Carlisi – Sam The Wings. Kau tak akan bisa menyentuhnya” ucap Mello dengan nada merendahkan.
Matt menatap Mello tajam. Memberitahukannya bahwa tak ada yang tak bisa di sentuh oleh Kira. Mello menghela nafas sebelum melanjutkan kata-katanya “Dia, saudara sedarah Misa. Namanya…”Mello terdiam… dia membiarkan keheningan berkuasa sesaat. “Tak perlu kuberi tahu kau pasti sudah tahu… Argh! Ini sia-sia!”.
“Bagaimana kau bisa seyakin itu?” Mello merendahkan volume suaranya, tapi tekanan dalam kata-katanya menantang Mello.
Sang mafia hanya tersenyum sinis. “Bocah brengsek, kau pikir dengan menyeret orang itu kau bisa menyelamatkan Misa?! Kau tidak bisa, tidak akan pernah bisa. Lagipula aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya.”
Matt mencengkram kerah Mello. “KAU!!”udara memanas di sekitar mereka berdua. Mello baru saja mencengkram balik kerah Matt ketika suara berbisik yang lembut menyusup di antara detak mesin penyokong hidup dan amarah mereka.
“Matt… Mathew”
“Misa!” Matt melepaskan Mello dan melompat ke samping tepat tidur, menggenggam tangan Misa. “Syukurlah kau sudah sadar”Matt membelai rambut Misa perlahan, menatap wajah orang terkasih lekat-lekat.
“Matt?”suara Misa lirih, tapi senyum tak lepas dari bibirnya yang memutih. Seolah mengatakan dirinya tak apa-apa walau ada selang terpasang di tubuhnya.
“Iya, ini aku…”Matt mempererat genggaman tangannya. “Aku ada di sini,Misa”
“Mello?”
“Dia juga ada di sini” Matt merasakan tangan Mello di pundaknya, sebelum pemuda gothic itu berdiri di sampingnya dan ikut menggenggam tangan Misa.
“Aku ada di sini”
Walau lemah, Matt dan Mello dapat merasakan tangan Misa membalas genggaman mereka. “Apa-apaan, kalian berdua? Kencan, di rumah sakit?!”Perkataannya terpotong-potong, setiap kata membuatnya kehabisan nafas. Misa berusaha tertawa tapi yang terdengar hanya suara nafas berat dan ringkih. “Aku tahu, hotel, yang bagus, North Side. Di Clark-“
“Misa!” Matt menyela perkataan Misa. “Sekarang bukan saatnya membicarakan ini. Kalau kau sudah sembuh, nanti… apapun yang kau bicarakan…” Matt tak bisa melanjutkan kata-katanya karena Misa lebih dulu menjitak kepala Matt dengan tangannya yang tertusuk infus.
“Bodoh! Apa, kau  lupa, hadiah natal, ulang tahunku, dan hadiah terakhir untukku?” Nafas Misa terdengar lebih berat.Misa memiringkan kepalanya, berusaha melihat lebih jelas Mello dan Matt.
“Apa yang kau bicarakan Misa?” Matt tak dapat menyembunyikan kepanikannya. “Kau akan sembuh. Aku sudah tahu jalannya, kau harus bertahan sedikit lagi…”
Misa mengangkat tangannya,berusaha menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Mello. tapi dayanya kalah oleh gravitasi, membuat tangannya kembali jatuh ke atas ranjang. “Aku sudah bertahan. Dokter bilang, aku tidak akan, bertahan, sampai, musim panas. Tapi, aku bisa, hidup, sampai, musim dingin. Aku, selalu optimis, untukmu”Misa manatap dalam-dalam ke mata saudaranya.
“Kalau begitu bertahanlah 2 musim lagi untukku”
Senyum Misa memudar. “Aku mencintaimu Matt. Kau keluargaku, kau adikku, kau sahabatku, kau anakku”.
“Dan kau bagai ibu bagiku…”
Misa tersenyum, tapi tidak Matt.
“Aku akan menyelamatkanmu. Aku tak kan membiarkan ibu-ku pergi lagi…”
Tangan yang hangat di pundaknya mengembalikan Matt ke masa kini. Dia menoleh dan menemukan orang yang menendangnya tadi pagi sudah duduk di sampingnya dan memesan minuman. “Matsuda?”
“Aizawa juga ada di sebelah kirimu.” Matsuda memberikan tatapan tak acuh lalu mengangkat tangannya, memesan minuman. “Shingo, keluarkan vermouthku! Dan juga blue gin untuk orang ini” Matsuda menunjuk ke arah Matt.
“Aku sudah cukup dengan sherry,” Matt menolak. “Lagipula apa maksud kalian kemari? Ah tidak, seharusnya pertanyaannya adalah… Sudah hampir seminggu membuntutiku, apa kalian tidak lelah?” Matt mengangkat gelas sherrynya dan melempar senyum kau pikir bisa menyembunyikannya dariku?
Matsuda terbelalak, dia tak menyangka justru orang berambut merah itu yang membuatnya tertekan, bukan sebaliknya. Selama ini dia hanya mengikuti Aizawa mengawasi sang Consigliere Chicago Outfit dari kejauhan. Melihat sisi lain Mello di hadapan bocah berambut merah dan hostest pirang. Keringat dingin berjatuhan di keningnya.
“Melihat reaksimu, kurasa itu bukan perintah dari si maniak coklat. Jadi… bisa katakan alasannya?” Matt menurunkan gelasnya, senyumnya memudar.
Matsuda melirik ke arah Aizawa ragu-ragu. Aizawa yang baru saja membisikkan sesuatu pada Shingo mengangguk, seolah mengatakan : katakan saja.
“ A, Aku ini bodyguard Mello-sama, jadi menjaganya dari kejauhan adalah prioritas utamaku!” Matsuda menjawab dengan gugup. Mello-sama sangat benci dikawal. Oh, aku pasti akan dibunuh Mello-sama kalau ketahuan, batin Matsuda menangis ketakutan. “Ta, tapi yang hari ini… mengawasimu hari ini, adalah perintah Mello-sama.”
Mata Matt menyirip. Dia sudah dapat menduga apa perintah yang diberikan Mello pada dua orang cecunguknya. “ ‘Jangan biarkan orang itu menyentuh calon Don Chicago Outfit yang berikutnya, jangan biarkan dia menyentuh Raye Penber’. Kurasa itu yang dia katakan padamu. Benar kan, Matsuda-san…?”
Matsuda tak mengerti darimana pemuda di hadapannya bisa mengetahui semua hal hanya dari menatapnya. Hebat! Kata-katanya sama persis. Cuma bagian orang itu di ganti bocah gogles sialan. Tentu saja dia tidak mengatakannya, dia justru gelagapan, panik sendiri.
“Jangan mendesaknya Matt-kun…” Aizawa mengambil alih pembicaraan, menggantikan Matsuda yang kalah oleh tekanan. Dia menyodorkan blue gin dalam gelas mini pada Matt, namun Matt dengan segera menyingkirkannya.
Matt memutar tubuhnya, melihat aizawa di sampingnya. “Kalau begitu, aku boleh mendesakmu?”
Aizawa merinding melihat sinar mata Matt. Sinar mata yang sangat mirip dengan Mello jika sedang bekerja. Padahal mata itu belum berubah merah. Ya, selain Mello tak ada orang yang masih hidup setelah melihat mata merah Kira. “Minum?” Aizawa berusaha mengalihkan pembicaraan, menyodorkan kembali blue gin.
“Aku tidak suka gin…” tolak Matt lagi. Dia menyingkirkan gelas dengan jarinya, namun gin di depannya tak bergeming. Seseorang menahan gelas itu, dan itu bukan Aizawa. Bukan pula Matsuda. Dia…
“Berapa kali harus aku katakan… aku benci penolakan!” orang itu memaksakan gin ke tangan Matt. “Mereka memesan ini atas perintahku.”
Matt menghela nafas berat. Meski tak melihat wajahnya, dia tahu pasti siapa orang yang paling benci penolakan yang kini duduk di tempat Matsuda. “Kau lagi, mafia gothic.”
“Maaf membuatmu menunggu lama.”Mello menggerakkan tangannya, mengusir Aizawa dan Matsuda. “Shingo, siapkan 713!” perintah Mello setengah berteriak, efeknya Matsuda & Aizawa tersedak lalu jatuh serempak menghantam lantai. Shingo baru saja akan menanyakan ‘Apa aku tidak salah dengar?’ ketika Mello menebarkan pandangan membunuh, membuat Shingo terbirit-birit menuju telepon di kasir.
Tapi Matt yang tak mengerti tak bergeming.
Mello mengangkat blue gin yang diabaikan Matt. “Apa kau takut aku meracunimu?” Mello meminum setengah gelas blue gin dan tersenyum sinis. Dia menggoyangkan gelas yang tersisa setengah di depan Matt, menggunakan bahasa tubuhnya utuk mengatakan ‘silahkan minum…”
Matt merampas gelas di tangan Mello dan meminum sisanya dalam sekali teguk. “Jadi, kau pikir aku akan membunuh si Raye Penber ini dan kau ingin melindunginya?”
Mello tertawa lewat hidungnya. “Sayang sekali, analisismu salah total. Raye adalah orang nomor 3 yang ingin kubunuh” Mello melirik ke arah ruang private party yang semakin meriah dengan lagu Happy B-Day, membuatnya semakin muak. sampai berapa tahun lagi kau hidup? Mello memegangi dadanya… Hidup…
“Lagipula kau tidak akan membunuhnya… dalam otakmu saat ini hanya ada kata menyelamatkan Misa. Aku bisa membaca gerakanmu. Semua terlihat jelas, sangat jelas, sampai-sampai terasa membosankan.” Mello bertopang dagu. Hari ini benar-benar membosankan… dadaku sesak, tapi… rasanya semua kosong…bersama pikirannya, hati dan sinar mata Mello ikut kosong.
“Jadi untuk apa kau kemari?”
Mello tersenyum hambar. “Kau belum ambruk juga?” Mello balik bertanya. Dia melirik ke arah Shingo yang baru selesai menelepon dan mengacungkan dua jarinya.
Blue gin yang special?” tanya Shingo dengan wajah pucat.
“Aku tidak tahu apa maksudmu dengan special, tapi… terserah… asal blue gin…” ucap Mello malas. Dia merebahkan kepalanya ke counter.
“Apa kau ingin membuatku mabuk lalu ambruk?” Matt menangkap lengan Mello.
Mello menarik tangannya, melepaskan diri dari Matt. “Temani aku minum segelas lagi, setelah itu aku tak akan peduli apa yang akan kau lakukan pada Raye.”
Shingo datang dengan dua gelas kecil penuh blue gin. Mello mengangkat gelas mini itu ke mulutnya, tapi di hentikan Matt. “Tukar…” Matt mengambil gelas di tangan Mello dan menggantikannya dengan gelas miliknya.
“Apa kau mencurigaiku memasukkan obat ke minumanmu?”
Matt diam, dia memandang Mello tanpa sedikitpun kepercayaan.
Mello tak peduli dan tanpa keraguan memasukkan cairan biru itu ke dalam mulutnya lalu membalikkan gelas yang telah kosong di depan wajah Matt, menantangnya.
“Hanya tindakan preventif” Matt menegak habis isi gelasnya, membuat tenggorokannya bagai terbakar. “Kau tahu… Aku akan melakukan apapun untuk Misa.” Matt menjatuhkan gelasnya ke atas meja dan berdiri. “Jadi jangan ganggu ak-“ lutut Matt lemah seketika, setiap sendinya serasa mati... kakinya tak lagi dapat menopang tubuhnya dan “BRUKK” Matt terjatuh, tubuhnya terbaring di lantai tanpa daya. Rasa kantuk yang berat menyergapnya, membuat penglihatannya semakin kabur. Kesadarannya memudar. Tapi orang-orang tak ada yang peduli padanya, tak satupun terkejut… tak satupun yang melihat kearahnya kecuali Mello. A-apa yang terjadi dengan tubuhku?
Mello mengembangkan senyum kemenangan melihat Matt yang tak berdaya di bawah kakinya. Dia membuka mulutnya dan mengalirlah blue gin yang tadi masuk ke dalam mulutnya, mengalir ke dalam gelas kosong. “Obatnya di masukkan ke semua gelas… bukan hanya gelasmu.” Mello turun dari kursinya, dengan satu kaki di gips, dia tertatih ketika berjongkok di samping Matt dan berbisik. “Seharusnya kau memastikan aku sudah menelannya sebelum kau meneguk habis isinya, bocah
Matt benci kondisinya saat ini. Perasaan tak berdaya, kalah, direndahkan… dan di atas segalanya… kenyataan bahwa dia tak mampu menyelamatkan kakaknya. Misa…
(rumah sakit, 06.30)
“Aku akan menyelamatkanmu. Aku tak kan membiarkan ibu-ku pergi lagi…”Matt menggenggam tangan Misa semakin erat. “Aku… a, aku membunuh ibu ketika lahir, aku membiarkan Mom mati di depan mataku…. Tapi aku tak akan melepasmu, Misa… tidak akan…”
Tangan Misa dapat merasakan genggaman tangan yang gemetar, dia tahu tangan siapa. Ketakutan dan kesedihan dapat ia rasakan dalam genggaman tangan itu. Tak lagi tersisa senyum di wajah Misa. Matanya yang sayu berkaca-kaca, lalu tetes bening jatuh dari sudut matanya.
Matt tak lagi bicara, sedang Mello hanya bisa menggemerutukkan giginya.
“Sampai kapan, kau akan, terikat, masa lalu? Kau, tidak salah…” Misa memejamkan matanya, berusaha menahan air mata yang semakin deras mengalir. “Kau tidak, membunuh Mom. Mom, tidak, pernah lupa, dia mencintaimu… selalu cinta… aku juga…”.
“Misa…”Suara Matt dan Mello berpadu dalam satu kata yang sama, memanggil nama gadis yang kini tersenyum dalam linangan air mata, bahagia hanya dengan mendengar namanya di panggil.
“Sudah kubilang… aku punya  jalan. Kau akan sembuh!”Matt kembali meyakinkan Misa.
“Aku tak pernah merasa sakit.” Misa tertawa, lalu ia membuka matanya yang memerah karena tangis, menatap dua pemuda tampan di samping ranjangnya.“Mello, Matt… Aku mencintai kalian”
(Somewhere)
31 Desember, pukul 23.52
Matt perlahan membuka matanya, kembali dari mimpi kenangan yang tampak bagai sekejap ke masa kini. Kantuk bagai obat bius perlahan sudah meninggalkannya. Di mana ini? Matt melihat kesekelilingnya, dia berada di sebuah kamar asing, di atas ranjang berseprai pink. Kamar itu sangat luas, mungkin VVIP,  berada di lantai atas. Jendela sebesar pintu berderet di dinding menampilkan panorama malam Chicago yang pernuh warna.
“Kau sudah sadar?” Mello merengsek naik ke atas ranjang yang bergerak lembut.
Matt berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi seluruh tubuhnya terasa kesemutan. Bahkan dia tak dapat bernafas dengan benar. Tubuhnya panas, wajahnya memerah. Mello kini tepat berada di atasnya, mengunci tubuhnya.
Kau… Hhh… apa yang, kau masukkan, ke dalam minumanku?” dada Matt sesak, nafasnya terdengar berat dan terputus-putus. Tubuhnya tak mampu digerakkan dari ranjang berbentuk hati. Cahaya lampu disco memenuhi kamar berwarna merah. Namun Matt tak dapat melihatnya karena wajah Mello memonopoli penglihatannya. “Menyingkir dari tubuhkku, Hhh…aku harus-”
Perkataan Matt terputus oleh suara belati yang menancap di bantal, dua millimeter dari pipi kanannya yang kini tergores dan mengalirkan darah segar. Bulu angsa berhambur keluar dari bantal, memberi warna salju di kamar yang panas. “Harus apa? Mati?!” Mello melepaskan tangan kirinya dari belati dan menyentuh luka di pipi Matt. Mello menatap tajam ke dalam mata Matt, nafasnya memburu.“Kurasa kau sudah lupa, jadi kuingatkan lagi… Kau milikku, KIRA!”
Teriakan Mello menjadi suara terakhir sebelum kamar itu kembali tak bersuara. Matt mengatur nafasnya, tak membiarkan obat mengendalikan tubuhnya. Perlahan rasa semutan ditubuhnya lenyap, berganti panas yang membakar seluruh organ dalamnya.
Di kepala Matt berkelebat bayangan Misa yang sekarat di rumah sakit. Tubuhnya semakin melemah dan tak berdaya, lalu bagai bunga yang layu… perlahan kelopaknya berguguran dan akhirnya … “DEG!” satu debar keras itu membalikkan semua rasa sakit jadi kekuatan baginya.
“Hentikan semua lelucon ini. Aku harus menyelamatkan Misa!”
“KAU  YANG  HARUS  HENTIKAN SEMUA INI!!” Mello berteriak dengan seluruh suaranya. Telinga Matt berdengung, dan matanya mulai melihat ilusi. Ya, yang ada di hadapannya pasti ilusi, karena apa yang dia lihat tidak mungkin terjadi di dunia. Terlihat bagai hantu, wajah Misa bersanding dengan wajah Mello. Kedua wajah itu menangis. “Hentikan... aku mohon… hentikan…”
Pipi Matt yang terluka terasa perih ketika satu persatu tetes air mata membaur dengan darahnya. Mulut Matt terbuka, tapi tak satupun suara yang keluar.
SIAL! Kenapa? Kenapa dadaku sakit? Kenapa nafasku sesak? Kenapa air mataku mengalir? Kenapa emosi tak berguna ini meluap?... Kenapa?!.... Kenapa aku menangis? ini…
“Jangan bersedih lagi…” perlahan kata itu terucap, tangan Matt terulur mengambil tetes air mata yang menggantung di sudut mata Mello.
Ini sedih?
“Jangan bersedih lagi… Misa…”
**
“Mello, Matt… Aku mencintai kalian”
“Berhenti… jangan menangis lagi Misa… jangan bersedih lagi” Matt tak mampu lagi melihat air mata di wajah Misa. Sudah cukup dia melihat Misa bersedih 7 tahun yang lalu. Sejah itu dia bersumpah akan selalu membuatnya bahagia. Tapi sekarang, sumpahnya kandas.
“Aku bahagia Matt… aku sangat bahagia…” Mata Misa perlahan menutup, nafasnya semakin pendek. “Sekarang kalian, sudah bersama… tidak akan, sendiri lagi…”genggaman tangan Misa melemah… “Aku bahagia…”
“Kalau kau bahagia, bertahanlah!” Matt membentak Misa. Mengabaikan tempo alat pengamat detak jantung yang mulai melambat.
Senyum paling indah di dunia dikenakan Misa. Membuatnya bersinar terang seperti cahaya api lilin menjelang ajalnya. Keheningan menyanyikan prelude perpisahan.
“Tolong  jaga dia… onegai, onii-san”
 Terlepas, genggaman tangan… dan nyawa… musik kematian dinyanyikan. Tapi Matt menulikan telinganya, dia tak mendengar apapun. Baginya Misa masih hidup di dekatnya. Dia akan selalu ada di dekatnya.
“Kalau…” Matt melepaskan tangan Misa, menyentuh pipi kakaknya, menghapus jejak air mata. “Kalau adik laki-laki seharusnya ototo-san… onii-san itu kakak laki-laki.”
Tapi kali ini tidak ada balasan yang keluar dari bibir mungil Misa, tak ada sangkalan maupun pembenaran.
Kata-kata yang selalu membuat Matt kesal sekarang dirinduinya… kata itu, dia ingin mendengarnya. Tapi kata-kata itu hanya bergaung dari masa lalu dalam kotak memorinya.Ah, Cuma salah sedikit aja kok~’
 “Salahnya banyak tahu!” tenggorokan matt perih, setiap kata membuat tenggorokannya sakit, mulutnya sakit… seluruh tubuhnya sakit.
‘Cerewet!’
kata-kata itu tak akan pernah dia dengarkan lagi. Selamanya.
Matt terdiam, hampa adalah apa yang menjadi isi dari dirinya. Satu-satunya cinta yang bertempat di hatinya telah hilang. Tempat itu kini diisi oleh benci dan dendam.
“Aku akan menyelamatkannya…” Matt menghadapkan wajahnya pada Mello. “Aku akan pergi dan membawa orang itu, Misa akan selamat. Kau tetaplah disini, kalau dia bangun nanti pasti sepi kalau sendiri jadi…”Matanya dipenuhi penyangkalan. Dia membutakan ke lima inderanya. Makhluk di hadapan Mello mengingkari kenyataan yang terbentang karena tak berani menerima kehilangan. Tanpa menyelesaikan kata-katanya Matt berlari keluar meninggalkan dua sosok tubuh, satu nyawa.
“Kira…”
***
“Misa… sudah… mati…”
Ya, aku tahu. Aku hanya bocah yang terus berpura-pura dan tak mau mengakuinya… Matt melingkarkan lengannya ke leher Mello. Aku tak mau kehilangan orang yang berarti bagiku. Tidak lagi. Matt menarik wajah penuh air mata itu ke dadanya. “Terima kasih…”
Mello tak berontak, kedua tangannya mencengkram sweater Matt. “Untuk apa?”
“Terima kasih untuk menggantikanku menangis. Terima kasih sudah memberikan kebahagiaan untuk Misa… terima kasih untuk tetap berada di samping bocah pembunuh ini tanpa menanyakan apapun.” Matt memeluk Mello erat. Dari balik rambut pirang yang memenuhi penglihatannya dia melihat keluar kamar. Chicago berada di bawah sana… masih sama seperti kemarin, masih akan sama untuk esok. Malam akan tetap hitam, matahari tetap terbit di timur, dan orang-orang akan bangun dari tidurnya. tak ada yang berubah… dunia tak berubah, selain kenyataan bahwa kini kakaknya sudah tiada.
Mello tak bergerak, tapi air matanya terus membasahi dada Matt. “Aku…” Nafas panjang terhela “Aku ingin mati…”
“DARR!!”
Kembang api memenuhi langit kota Chicago, meledakkan metal dalam viesta warna yang ceria.terompet bersahutan, orang-orang di bawah sana berteriak riang menyambut tahun yang baru.
Matt memejamkan matanya, menarik nafas panjang. Apa yang akan dia katakan setelah ini akan mengubah hidupnya, mengubah jalan takdirnya. “Proposalmu waktu itu… belum terlambat untukku menerimanya?”
Mello semakin menenggelamkan wajahnya ke dada Matt. Mengajukan proposalnya sekali lagi “Kira, kill me… dan semua milikku akan kuserahkan untuk balas dendammu.”
“Akan kulakukan…” Matt menghirup udara yang di penuhi bau tubuh Mello. Dia memeluk orang yang berbaring di atas tubuhnya lebih erat, seolah berusaha mengikatnya, membuat mereka jadi satu. “Tangan ini adalah milikmu, dan Aku pasti akan membunuhmu”.
Tanpa ada seorangpun menyadari, dalam pelukan hangat di malam tahun baru itu, dalam janji yang terukir dalam takdir penderitaan, bibir Mello tersenyum. Senyum kemenangan.
Kira, sekarang kau  milikku…
Di bawah langit hitam yang bermandikan cahaya dari bunga metal yang semarak, di atas sekumpulan manusia yang berpesta, di dalam malam tahun baru yang dipenuhi tawa.
Di sinilah mereka menyatukan diri dalam janji kematian. Janji yang tak akan di hancurkan oleh siapapun.
Tidak manusia, tidak pula dewa. Bahkan kematian.
***
Malam tahun baru nanti, Misa ngga bisa datang. Jadi Matt-kun nikmati saja berdua dengan Mello-kun. Satukan diri kalian ya…
Anggap saja hadiah natal terakhir untukku,Matt…
***
“Happy New Year…”.
~MeWTh~
Kamus kecil:
左様なら: Sayonara, selamat tinggal.
Onegai : please
Gomen : Maaf
Maitta:  Aku menyerah, give up!
Chicago Outfit :Organisasi Mafia penguasa Illinois. Ini adalah tempat dimana Mello jadi penasihat utamanya. Salah satu organisasi mafia America-Italy yang menerima orang non itali dalam kelompoknya. (Keterangan lebih lanjut, silahkan search di google)
Consigliere : Jabatan langsung di bawah Don, tugasnya seperti penasihat. Tangan kanan godfather (Don). Biasa diduduki oleh orang tua yang berpengalaman, Mello adalah pengecualian.
Gin, vermouth, sherry : Jenis minuman ber alkohol. Juga nama sandi anggota jubah hitam di detektif conan :p (penyakit nyelipin manga lain gak sembuh-sembuh)
Raye Penber : Di manga jadi anggota FBI yang jujur. Karena tema ceritanya Reverse, tokoh protagonis inipun jadi antagonis. Data fisik sama persis seperti versi manga, tanggal lahirnya aja ngga mew rubah lhoo~(pas malam tahun baru).
Shingo Mido : salah satu dari 8 anggota Yotsuba. Mew ada sedikit fetish kacamata, jadi dengan mudahnya Mew memutuskannya jadi figuran utama 6th Kiss… XD. Di Kill Me Kiss Me, Shingo imigran Jepang yang sudah bekerja selama 3 tahun sebagai bartender di bar super exclusive bawah tanah millik Chicago Outfit. Berteman baik dengan Matsuda.
a/n (again): Mew dihantui rasa bersalah waktu nulis 6th Kiss. Bagaimanapun, Misa dibuat dengan mengambil Image Nee-chan di mix sifat Mew. Jadi seperti sedang membunuh Nee-chan. Mew ngga bisa nulis angst. jd adegan kematian Misa Mew gambarkan sesederhana mungkin. Kalau terlalu detail, Mew bisa nangis. Mew jauh lebih suka Misa di KMKM daripada aslinya. She is Mew’s image for perfect sister. Wlo dimunculin dari awal untuk mati.
Dan dengan ini angst pun sebentar lagi akan berakhir! Masa lalu Matt sepenuhnya akan terbongkar di 7th Kiss. Dan juga kemunculan Light Yagami!! (*Jingkrak2 kegirangan*). Mew juga akan membongkar kode yang mew mulai dari 1st Kiss! (kucing maniak kode). Keterangan lebih lanjut baca xxx-tra Kiss

Read XXX-tra Kiss : 7 Riddles ~ Forbidden Night

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar kamu di sini