Minggu, 20 Maret 2011

KMKM~First Encounter (5th kiss-1/3)


Kill Me Kiss Me
~First Encounter~
5th   Kiss Part.1/3
31 desember 2009,
Pukul 02.30
Lupakan semua perjanjian bodoh yang mencurigakan itu atau ambil resiko?” pertanyaan yang sama kembali terdengar.
Asap memenuhi ruangan, menyerupai kabut yang muncul dipermukaan rumput di pagi hari namun memiliki warna seperti hasil kebakaran hutan. Putung rokok berserakan dalam kamar tanpa penerangan, hanya cahaya dari notebook futuristik buatan Matt yang memberikan cahaya redup pada sosok tubuh yang bersandar lemas di dinding,sendirian dalam pemikirannya yang rumit.
Matt mematikan sisa bara rokoknya dan membuka bungkus rokok ke 13, menyelipkan rokok baru dan kembali memenuhi paru-parunya dengan racun. Tumpukan nikotin tak sedikitpun memberi ketenangan pada dirinya. Seolah otaknya tak lagi dapat memproduksi opiate untuk menangkal kegelisahannya. Mata Matt nyaris tak bisa melihat apapun dibalik goglenya, asap membuatnya berada di negeri awan yang menyesakkan. “Sial! Apa yang harus aku lakukan?”
Handphone Matt menyanyikan lagu Alumina dengan keras, memenuhi ruangan yang senyap dengan suara yang hanya sekejap karena di detik berikutnya Matt telah menerima teleponnya. “Misa kenapa kau meneponku tengah malam?” Matt menyingkirkan goglenya, membuat pekat asap menyengat matanya. Suara keramaian klub menjadi latar, teriakan genit wanita-wanita penghibur dan tawa pria hidung belang membuat Matt menguatkan niatnya untuk menyeret Misa keluar dari dunia malam. “Misa?”Panggil Matt lagi.
“Maaf membuatmu salah sangka, ini aku. Misa memaksaku memakai handphonenya saat tahu aku akan menghubungimu”
Suara yang Matt dengar di seberang telepon membuat perasaannya semakin tidak tenang. Mafia blonde itu… ada apa dia di tempat Misa? “Dia memaksamu memakai loudspeaker?”
“Untungnya tidak” yang di sambut dengan teriakan samar Misa dari ujung telepon “Strawberry talk! Oh so sweeeeet~” Misa, kau benar-benar sudah diracuni oleh mafia freak coklat ini, batin Matt saat mendengarkan teriakan riang sang kakak. “Aku hanya ingin tahu, apa kau sudah menentukan jawabanmu?”
Matt terdiam. Matanya berkeliling dalam ruangan. “Masih ada lebih dari 21 jam 29 menit sebelum hari ini berakhir” Aku butuh waktu sedikit lagi. “Selain itu, untuk apa kau ke tempat kerja Misa?”
“Misa yang memanggilku. Dia ingin aku mengantarkan syalmu yang kemarin terbawa olehnya bersama sebuah bungkusan. Dia akan sangat sibuk untuk perayaan tahun baru”
“Oh…” Matt diam, menunggu reaksi dari Mello. Namun sepertinya Mello juga memikirkan hal yang sama.
“…”
“…”
“…”
Masih saling diam.
“…”
“…”
“…”
Masih menunggu pembicaraan dari seberang telpon.
“…”
“…”
“…”
 “Kenapa kalian hanya diam saja!?” suara Misa menggantikan Matt setelah merampas kembali handphonenya. “Misa jadi sebal menunggu kalian bicara tahu!”
“Misa…kau!” Suara Matt meninggi lalu hilang oleh tawa tertahan Misa.
“Matt-kun masih marah karena kemarin Misa habiskan jatah makanannya dan langsung pergi berdua dengan Mello ya? Maaf, habisnya Misa terlalu senang waktu Matt-kun bilang M&M yang ada di pematik itu artinya Mello akan jadi adik Ipar Misa~”Misa ber kyaa-kyaa riang.
“Itu menjijikkan tahu! Lagipula kapan kau pernah tidak mencukai makananku? Kenapa baru sekarang merasa bersalah?” tapi bukan itu masalahnya. “Hei Misa, untuk apa kau memanggil tukang makan coklat itu? Aku sendiri bisa mengambilnya kesana,kenapa harus dititipkan?”
Misa merengut. “Matt-kun lupa apa alasannya kita menukar kado natal di tahun baru?”
Bagaimana mungkin aku lupa. Kau tidak ingin mengenang hari kematian Mom&Dad dengan tangis kan? Dan sekarang kita bukan lagi McPherson,jadi tak ada alasan bagi kita untuk mengunjungi makam mereka. Karena itu kau memaksaku menyimpan kado natal hingga tahun berganti. “Aku tidak pikun, Misa. Jadi dengan alasan yang sama, itu yang ingin kau katakan?”
Misa tak menjawab, dia kalut akan pemikirannya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya, berusaha mengabaikan pertanyaan Matt. Matanya menangkap Mello duduk tenang di sofa merah dengan dikelilingi gadis-gadis yang terpana olehnya. “Hei… Semuanya, jangan dekat-dekat Mello-kun! Mello-kun itu calon ipar Misa, kalau sampai rusak awas yaaaa~… Misa marah lhooo”Mata Misa bagai memancarkan sinar laser yang membuat para gadis menjauh seketika.
Matt tahu pasti Misa sedang mengalihkan pembicaraan. Tak ada hal yang menyenangkan jika berbicara tentang kematian orang tua mereka. Tak ada kenangan indah di sana.
Misa menarik nafas panjang. “Malam tahun baru nanti, Misa ngga bisa datang. Jadi Matt-kun nikmati saja berdua dengan Mello-kun. Satukan diri kalian ya…”. Misa merendahkan suaranya, melepaskan kemajaannya dan menjadi Misa yang dikenal Matt. “Anggap saja hadiah natal terakhir untukku,Matt…”
Keheningan tercipta bersama berita tentang badai salju yang mendekat. Matt memandangi Misa yang menggenggam Hp dengan kedua tangannya. Jari-jari mungil itu gemetar. Yang terakhir…
“Misa…saat mengusirku dari apartemen kau juga bilang begitu!” Matt membentak sang kakak yang kini cekikikan. “Bisa kau pakai cara lain untuk memaksaku?”
Misa kembali mengenakan topeng manja, membuat tangannya tak lagi gemetar. “Sudah ah, pokoknya Misa ngga mau tahu, itu yang Misa mau untuk tahun baru nanti! Sekarang Misa mau latihan bahasa Jepang lagi dari Mello-kun. Mello-kun pintar banget, ngajarnya juga pandai. Ngga kaya Matt-kun yang bara!
“Kalau maksudmu bodoh, itu baka. Bara itu mawar”
“Ah, Cuma salah sedikit aja kok~”
“Salahnya banyak tahu!”
“Cerewet!!" Misa mengatakan kembali kata yang selalu di ucapkannya bila kalah perang karena bahasa Jepangnya yang buruk.
"Kau jangan menggangguku lagi Matt, sekarang Misa mau belajar bahasa Jepang !”
Ah, gawat…lagi-lagi percakapan ini. Kenapa selalu kembali berputar-putar seperti ini sih? Matt memegangi kepalanya. “Dengar Misa, lebih baik kau tidak dekat dengan si makhluk penggila coklat karena-“
“Ada masalah denganku?” potong suara di sebrang telepon,Mello. Misa menyerahkan kembali Hp pada saat yang tepat. “Kurasa sudah cukup strawberry talk ini. Jujur saja, aku tidak suka menunggu sampai batas akhir. Jadi kalau kau tidak memberikan jawaban ya setelah membuatku menunggu lama, bersiaplah dengan hukuman yang kuberikan”
Matt menjauhkan Hp dari telinganya, keningnya berkerut “Kau tidak…”sketsa terburuk muncul di benak Matt, membuat lidahnya mati.
Walau ia tahu Matt tak melihatnya, Mellomemandang Misa dan menyeringai “Aku hanya akan meminjam milikmu yang paling berharga. Tapi, aku tak yakin bisa mengembalikannya”. Dan dengan segera dia menutup percakapan sebelum mendapatkan reaksi dari Matt.
Matt bangkit dari sofanya dan berjalan menyebrang mendekati Misa yang sedang mengambil sebotol champagne. Matt menyerahkan Hp ke tangan Misa dan mengambil alih botol hijau di tangannya. Matt dapat melihat bayangan Matt yang memucat di belakang Misa. Nah, sebaiknya hukuman yang bagaimana? “Baiklah, bisa kita mulai pelajarannya? Bagaimana kalau kita mulai dari, gishi?
*m*
31 Desember 2009, Pukul 05.07
Tak sedetikpun Matt dapat mengistirahatkan akalnya apalagi tubuhnya. Rokok yang selalu menghiasi bibirnya kini tak menyala. Hanya terselip tanpa asap yang mengepul. Sel-sel otak yang bisa bekerja nonstop 7 hari seminggu demi game kini tak mampu bertahan walau hanya untuk semalam karena seorang pemuda berambut blonde yang menawan kakaknya.
Perkataan Mello selalu berada dalam nada serius namun berisi fakta yang tak dapat dipercayai. Mata Mello yang tanpa ekspresi membuat Matt tak dapat menembus alam pemikirannya. Tapi… Matt menyilangkan tangannya, menyentuh kedua pundaknya, memeluk dirinya sendiri. Tapi, meski matanya mati, tubuhnya hangat. Apakah mata mati itu yang bohong, atau kehangatan sesaat itu? Sial… bukan waktunya memikirkan itu! Sekarang Misa ada di tangan mafia blonde licik dan...AAarRGh!!  Otak Matt overloaded. Tak pernah sekalipun dalam hidupnya terlintas dalam benak Matt bahwa hidupnya akan kacau karena seorang laki-laki, terlebih lagi seorang mafia. Tapi itulah yang terjadi sekarang.
Perkataan terkahir Mello kembali terngiang di kepalanya…
“Aku hanya akan meminjam milikmu yang paling berharga. Tapi, aku tak yakin bisa mengembalikannya”
“Nee-chan…*”Matt mendesis tepat ketika handphonenya bernyanyi lagi.
Matt mendelik melihat nama yang tertera di Hpnya. Misa… lagi?
“Misa?”
Tapi yang menjawab di seberang telepon bukan Misa, bukan pula Mello. Namun suara wanita yang asing. Matt mendengarkan perkataan wanita itu.
“Apa?!” mata Matt terbelalak, tubuhnya gemetar, pucat merayapi wajah dan jemarinya. Handphone terjatuh dari tangannya. Seluruh sendinya lemas, punggungnya tersandar tanpa daya ke dinding yang dingin. Matt bagai tenggelam dalam danau es yang membeku, sendiri… tanpa udara, kedinginan dan …
*M*
31 Desember 2009, pukul 05.57
Taksi berhenti di depan University of Chicago Hospitals, Matt keluar dari dalamnya dan berlari seperti orang gila menuju rumah sakit. Ia menyerunduk seperti banteng melewati kerumunan, dengan tetap berlari dia masuk ke dalam bangunan megah itu. Peluh mengalir dari keningnya, meski sekarang musim dingin dan pakaian yang di kenakannya tipis. Itu bukan keringat karena panas, tapi keringat dingin yang tak berhenti keluar sejak dia mendengar pemberitahuan dari rumah sakit.
Dia berkali-kali berusaha menelpon orang di klub Ouran, tapi tak ada satupun orang yang tahu, tak ada satu orangpun yang bicara.
Matt tak sempat mengambil nafas ketika dia bertanya pada perawat di bagian informasi. Segala hal di sekelilingnya bergerak sangat cepat meninggalkan dirinya. Jantungnya berpacu kencang, berlomba dengan nafasnya yang semakin pendek.
Matt berlari menyusuri lorong rumah sakit. Langkah kakinya bergaung, membentuk melodi yang saling mengejar. Matanya mengamati tiap tulisan yang bergantung dan terpampang di sepanjang lorong. Kepalanya kini dipenuhi oleh satu orang, setidaknya hingga dia melihat sosok yang sangat dia kenali.
“Kau…” Matt memperlambat larinya hingga berhenti tepat di depan sosok yang duduk di bangku kayu panjang dan bersandar pada dinding putih. Satu kakinya terlipat di dada, sedang kaki kanannya yang terlilit perban dibiarkan lurus melintang.Pemuda itu mendongakkan kepalanya, memamerkan matanya yang mati. Tubuhnya bagai di banjiri oleh darah yang kini mulai mengering, seperti syal di tangannya. Sosok itu menyeringai melihat warna mata lawan di hadapannya. Warna yang sama seperti darah di tubuhnya.
Sosok itu mendekatkan wajahnya ke wajah Matt “Kau terlambat” dan menambahkan dengan suara berbisik tepat di telinga Matt “Kira”. Dia dapat merasakan tubuh Matt gemetar dengan kuat.
“Sial” suara Matt bergetar menahan kemarahan yang bercampur dengan kesedihan dan takut akan kehilangan.
Pemberitahuan yang diterima Matt kembali terngiang ketika ia mencengkram kerah mafia yang dibencinya.
“…Misa Amane saat ini sedang di rawat di instalasi gawat darurat…”
“APA YANG KAU LAKUKAN PADA KAKAKKU?!!”
*M*
“Aku suka angin…”
Matt mengalihkan pandangannya dari 12 lilin di atas kue ulang tahunnya pada sang kakak yang menatap keluar jendela. Rambut pirangnya yang panjang hingga pinggang melambai tertiup angin akhir musim dingin di bulan febuari. Butiran salju ikut masuk melewati jendela, lalu mencair di dalam ruangan.
“Terserah kau suka angin atau badai. Tapi kalau kau tidak menutup jendela, seumur hiduppun lilinnya ngga akan bisa nyala!”
Misa merengut. Dengan malas-malasan dia menutup jendela. “Ya…ya… saatnya merayakan ulang tahun berdua di apartemen murahan di tepian kota New York yang individualis”Misa melirik adiknya. “Seandainya kau sedikit populer, kau bisa merayakan ulang tahun dengan teman-temanmu. Salah sendiri loncat kelas sampai 5 tingkat”.
“Yang loncat kelas 2 tingkat ngga berhak komentar!” Matt menyalakan lilin dengan pematik bertuliskan M&M. “Lagipula begitu musim panas tiba, semua akan berakhir kan, Misa. Semua teman-teman dan kenangan…”
Misa meraih pematik dari tangan Matt. “Apa kau takut Matt?”dia menggenggam tangan adiknya yang dingin sama seperti tangannya. Mata mereka bertaut dalam kesunyian. Ada kekosongan dalam dua pasang mata itu. Kekosongan yang tak dapat dijelaskan hanya dengan kata takut. Ada kesedihan, harapan akan kebahagiaan dan keputusasaan pada masa lalu.
Matt menggeleng. “Musim panas ini, kita lulus SMA. Lalu kembali ke rumah lama kita di Hawaii. Di sana, kita akan membakar semuanya, identitas kita sebagai McPherson, juga semua kenangan tentang Dad & Mom. Kita harus melakukannya agar benar-benar lepas dari tangan mafia yang memburu dad” Matt melepaskan tangan Misa, dadanya terasa sesak. Udara seolah lenyap dari sana. “Kita akan ‘mati’ dan kehilangan segalanya. Tapi aku tidak takut. Karena ini demi kebebasan.”
Tangan yang ramping dan panjang melingkari leher Matt. Misa memeluknya erat. “tak perlu sok keren, dasar adik bodoh! Tak apa-apa kalau kau takut. Aku juga takut. Tapi kita pasti akan bisa melalui semuanya. Karena aku akan selalu ada di sisimu. Aku akan selalu mendukungmu, apapun yang terjadi…Dan kau akan terus berada disisiku, menjadi maid of honourku kelak”.
Dada Matt yang sesak perlahan lapang, dialiri udara segar, diselubungi tubuh yang hangat.. Matt membalas pelukan Misa, memejamkan matanya, menikmati detik kebersamaan dengan keluarganya yang terakhir.
“Hei, bagaimana kalau kita memulai hidup baru di kota angin yang kau sukai…?”
The windy city, Chicago. Kota dimana angin berhembus membawa aroma musim panas yang membius. Apa yang menanti mereka di sana bukan hanya angin, namun juga seseorang yang akan memutuskan janji mereka untuk bersama.
Ke dua belas lilin yang menyala pada akhirnya padam juga. Seperti janji mereka.
“Happy 12th & last Birthday Matthew McPherson”
To Be Continued…
Sekilas info:
-- Gishi – Kakak ipar (dalam kanji yang berbeda dapat juga diartikan insinyur). 


-- Neechan -- kakak perempuan
-- Tahun ajaran baru di Amerika dimulai pada Musim panas. Ulang tahun ke-12 Matt dirayakan bulan febuari, hampir setengah tahun sebelum mereka ‘mati’.
-- Maid of Honour – pelayan pengantin wanita. Biasanya cewek, karena dia yang akan mengurus tetek bengek pernikahan pengantin wanita. Tapi berhubung Misa begitu sayangnya sama Mello, dia bercita-cita merepotkan Mello di hari pernikahannya. 


Akhirnya, ini dia bagian pertama 5th kiss Chapter 5 di bagi atas 3 bagian karena lumayan panjang. 

next! (sebelum klik link di bawah, monggo ninggalin komen yo...)
Read KMKM~1st encounter : 5th Kiss (part 2/3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar kamu di sini