Rabu, 23 Maret 2011

KMKM~First Encounter (5th kiss-3/3)


Karena banyak adegan masa lalu dan kata hati bertumpuk di satu scene, khusus 5th Kiss last part mew bedakan penulisannya.
“Bla bla bla…”  kata-kata atau kejadian di masa lalu(flashback)
Bla bla bla…  kata-kata di dalam hati
Kill Me Kiss Me
First Encounter
5th Kiss. Part.3/3
Dua musim… selama itu kenapa aku sama sekali tidak menyadarinya?”
Matt duduk di kursi samping ranjang rawat Misa. Kakak yang sangat dia cintai kini terbaring tak berdaya di atas ranjang keras rumah sakit. Selang infus, tabung oksigen dan alat-alat rumah sakit lain menempel ditubuhnya, melucuti kesangaran yang selalu dikenakan Misa. Wajah pucat yang selama ini selalu dihina Matt, kini terlihat begitu rapuh, melambangkan batas tipis antara hidup dan matinya.
“Kau kelihatan seperti mayat tanpa make up!” Matt meringis kesakitan lalu menarik cincin kaleng dan meneguk habis isinya. “Berhentilah mengurusiku. Kalau begini terus tak ada gunanya kau bilang mau tinggal terpisah denganku” Matt teringat lagi saat Misa menendangnya keluar dari rumah kontrakan mereka yang hangat setengah tahun lalu.
“Seharusnya aku sudah sadar… kau mengusirku supaya aku tidak menyadari sakitmu” Matt menggenggam tangan kurus Misa. Kilasan-kilasan hari-hari terakhir berkelebatan seperti hantu. Mengutuk Matt atas ketidak sadarannya.
“Tenang… Aku tak masalah kalau kau gay Matt. Sebagai kakak aku akan mendukungmu! Karena itu silahkan habiskan waktu kalian berdua sebagai ganti malam natal yang ku ganggu” Mata Misa berkaca-kaca. Lalu darah mengalir dari hidungnya..
“Harusnya aku sadar kau berpura-pura…” Matt menyentuhkan tangan Misa ke wajahnya. Ketika jemari itu menyentuh wajahnya, rasa dingin menyebar seperti badai yang datang tiba-tiba.
“Hei hentai neechan!! Kau mikirin apa sampai mimisan lagi?!” Maki Matt, balik menyadarkan Misa akan cairan merah yang mengalir keluar dari hidungnya.
“Tapi aku sama sekali tak sadar. Padahal darahmu berkali-kali mengalir di depanku. Bertahanlah Misa… Kumohon… aku membutuhkanmu… aku… Aku…”
“Benar-benar adik yang tak berguna. Adik tak berguna yang dibangga-banggakan oleh Misa” Mello masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk pintu. Matt langsung menoleh kearah sang mafia yang kini mengapit tongkat di ketiak kanannya. Warna mata hitam Matt terlihat suram dan penuh rasa bersalah memberikan sentakan kekesalan pada Mello. “Jangan pasang muka bersalah menjijikkan itu. Paling lama seminggu benda sialan ini menggangguku”
Matt mengembalikan pusat dunianya pada Misa. Gadis berambut pirang di hadapannya tidur seperti seorang putri. Putri yang seolah akan tidur selamanya. “Aku sama sekali tidak merasa bersalah padamu”
“Tentu saja…” Mello menarik kursi ke samping tempat tidur Misa dan duduk setelah dengan sengaja menjatuhkan tongkatnya ke kepala Matt. “BLETAKK!”
Seharusnya Matt akan berteriak kesakitan dan melempar balik tongkat pada Mello. Memberi Mello tatapan membunuh dan menanyakan maksudnya menjatuhkan tongkat seberat 3 kilo ke kepalanya. Itu yang seharusnya terjadi dalam keadaan biasa. Tapi kali ini Matt bahkan tidak bersuara sedikitpun, dia hanya menyingkirkan tongkat yang sudah mendarat di kepalanya dan menggenggam tangan Misa kembali.
“Mana amarah untuk mafia yang selalu kau umbar? Menatapkupun tidak. Kau menyedihkan” Mello menyandarkan punggungnya di kursi plastik yang mendecit. Dia memperhatikan tubuh Misa tak ubahnya boneka. “Matt benci pada mafia. aku berharap dia bisa bebas” Perkataan Misa terngiang seolah bagai dibisikkan saat ini. “Karena jika hatinya dipenuhi kebencian, maka tak akan ada tempat untuk cinta”. Mello mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit putih. Kau lihat Misa, sekarang dia bahkan lupa pada dendamnya justru karena kehilangan cintamu. Debar jantung Mello melambat.
“Matt memilihmu. Sebentar lagi kau akan jadi satu-satunya cinta di hati Matt, tak ada yang lain. Hanya kaulah yang bisa menyembuhkan kebenciannya”
Sembuh?! Kebenciannya adalah satu-satunya yang menarikku. Lebih baik dia memiliki kebencian daripada tidak memiliki apapun. Kau lihat, tanpa kebencian dia sama saja denganmu. Mayat hidup. Lagipula, aku yang memilihnya dan aku tak butuh cintanya… kebenciannya, dendamnya, dia sebagai Kira, hanya itu yang kuperlukan. Tak lebih.
“Aku sudah gila ya… berdebat dalam pikiran dengan gadis yang mau mati” Mello tertawa lirih. “Ah ya… adik yang begitu melindungi kakaknya ternyata sama sekali tidak tahu apa-apa”
Kata-kata Mello bertumpuk di benak Matt dengan perkataan yang dia ucapkan sehari sebelumnya.
“Misa menyembunyikan banyak hal darimu”
Matt menggenggam tangan Misa semakin erat. “Kau… kau sudah tahu sebelumnya kan?”
Mello mengeluarkan coklat dan mulai mengulitinya. “Tahu apa?” ucapnya pura-pura tak paham. Mello mulai merasa menapak angin karena berhasil menarik Matt. sedikit lagi…
Matt terdiam sejenak. Dia tahu Mello berusaha mempermainkannya, mempermainkan kekhawatirannya dan hubungannya dengan keluarga terakhirnya. Tapi dia tidak punya pilihan lain, dia harus mengikuti permainan Mello. “Leukimia Misa… kau sudah tahu dari awal kan?”
Kunyahan coklat Mello saja yang menjawab pertanyaan Matt.
“Apa kau sudah tahu dari pertama kali bertemu Misa?” Matt mengulangi pertanyaannya dengan perlahan, kontras dengan kesabarannya yang mulai menipis.
Mello masih mengunyah coklatnya. Dia melihat ke arah Matt, memperhatikan urat-urat tangannya yang kebiruan muncul setelah melepas tangan Misa. Dia pasti mengepalkan tangannya terlalu keras. Wah-wah… kau begitu kesal padaku ya?
“Kau tahu kan? Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?” Matt mengganti pertanyaannya. Kepalan tangannya semakin erat, membuat kuku-kukunya menancap di daging tangannya yang dingin.
Mello sebenarnya ingin tetap diam, mempermainkan perasaan Matt lebih jauh lagi. Tapi niat itu kandas demi melihat darah mengalir dari tangan Matt. “Kau sendiri yang bilang tahu segalanya kan?” suara Mello terdengar di antara kunyahan coklat yang tak berhenti. “Lagipula kalau kau tahu, apa yang bisa kau lakukan?”.
“Aku… setidaknya aku bisa-“
“Memperlakukan Misa sebagai orang sakit?” sambung Mello cepat. “Misa merahasiakannya darimu karena tidak ingin hari-harinya dipenuhi wajah khawatir bodoh dan sedihmu… mungkin”. Mello memasukkan potongan coklat terakhir dalam mulutnya dan melemparkan sisa pembungkus ke dalam tong sampah.
 “Ketika aku mencari data tentang pemuda berambut merah yang kulihat membantai anak buahku, aku menemukan bersama itu data rahasia rumah sakit. Tentang seorang gadis yang meminta pihak rumah sakit merahasiakan penyakitnya selama lebih dari 2 tahun.
Kemotheraphy yang menyakitkan dia lakukan diam-diam. Dengan senyum dan wajah palsu penuh kemanjaan dia hidup demi adiknya. Karena dia tahu, tak ada harapannya sembuh. Dia hanya bertahan hidup lebih lama untuk mendampingi adiknya yang penyendiri. Mungkin sampai dia bisa hidup tanpanya”.
Kata-kata Misa di pagi natal kembali memenuhi kepala Matt. “Akan aku lakukan asal kau mendapatkan pacar manusia. Jatuh cinta pada seorang gadis, lalu menikah. Aww, itu terlalu manis untukmu! Setidaknya miliki teman yang bentuknya tiga dimensi dan bisa disentuh dan hidup. Kalau kau sudah begitu, aku bisa meninggal dengan tenang”. Matt merenggangkan kepalan tangannya, udara yang menyesakkan dari masa lalu mengelilinginya. “Kenapa aku tidak sadar?... kenapa…” Matt menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangannya yang terluka.
Mengabaikan Matt yang semakin tengggelam dalam kenangan, Mello melanjutkan. “Musim panas tahun ini, gadis itu sudah mencapai batasnya. Batuk darah dan mimisan, pingsan, serangan tiba-tiba. Adiknya mulai mencium kebenaran,tapi sebelum itu terjadi, dia mengusirnya dari apartemen yang mereka tinggali bersama. Dia tahu dirinya tak terselamatkan, karena itu satu-satunya harapan yang tersisa adalah melewati sisa hidup dengan- ”
“Ada!” Matt melompat dari kursinya, menghentikan cerita Mello seketika.”Ada cara untuk menyelamatkan Misa!”
“Sampai kapan kau tidak mendengarkan kata-kataku, sialan” Mello menggerutu.”Ku bilang Misa tak terselamatkan!”
Matt memegangi lengan kursi tempat Mello duduk. Dia merundukkan tubuhnya mendekatkan wajahnya dengan Mello. Sang mafia dapat melihat noda darah dari telapak tangan Matt di wajah otaku game itu. “Ada! dan kau tahu pasti apa yang kubutuhkan untuk menyelamatkan Misa” ada kilatan harapan di mata Matt.
Sang Mafia genius dengan mudah membaca maksud Matt. “Cangkok sumsum tulang belakang”
Matt mengiyakan. “Misa punya saudara laki-laki yang sedarah dengannya kan?”
Mello menunduk. Mata penuh mimpi dan harapan seperti itu sudah bertahun-tahun menghantuinya, mata penuh mimpi yang akan hancur seketika. “Sudah ku bilang kau terlambat untuk itu… Tidak ada harapan. Cangkok… tidak, kau tidak akan bisa. Lagipula orang itu belum tentu ada di sini…”
“ADA!” Matt berteriak. “Ada… dia ada di sini. Bahkan sangat dekat. Dia pemuda yang ada di Hostest Club tempat Misa bekerja”
Tanpa sadar, Mello membalas tatapan Matt. “Kau…” udara berhenti bergerak, membuat ruang hampa antara dirinya dan Matt. Tak ada suara lain terdengar. Tidak tetes air infus maupun suara mesin pengamat detak jantung. Hanya ada dia dan kengerian yang timbul bersama sensasi menyenangkan di otaknya.
“Misa mengatakannya kan? Oni… setan. Pembunuh Dad dan Mom.. Itu sebabnya kau menarik Misa pergi kan? Karena kau tahu, Misa tahu… Karena Saudara laki-laki Misa, orang yang melakukan pembantaian 7 tahun yang lalu… dia…” Mata merah sang pembunuh telah kembali. Baru kali ini Mello melihat mata Kira yang sesungguhnya. Mata yang muncul bukan karena trauma, tapi kesungguhan akan mencabut nyawa orang yang ada di hadapannya. Mata pembunuh yang tidak kehilangan dirinya, penuh rencana dan setenang lautan dalam yang menyimpan hiu buas.
Desir ketakutan yang nikmat memenuhi tubuh Mello. Dia dapat melihat kematiannya dengan jelas pada mata merah di hadapannya. Syaraf-syaraf tulang belakangnya mengirimkan rangsang ke otak dan seluruh tubuhnya, melebihi bius narkotika manapun yang pernah di suntikkan ke tubuhnya, melebihi candu dari ribuan coklat yang pernah memasuki tubuhnya. Mata Kira the Jackal memberikan gairah kematian padanya.
Hanya dengan mata itu wajah Mello memerah, jantung tak mensuplai lagi oksigen ke kepalanya. “Kau…Hhh…” semua nafasnya tercuri oleh Matt, bahkan dia tak mampu menyelesaikan satu kalimatpun.
“Aku tahu… kau menyembunyikannya dariku…” Tangan-tangan yang terluka beralih dari lengan kursi ke kedua lengan Mello. “Dari ke empat pemuda itu, salah satunya saudara laki-laki Misa kan?”
“Mustahil…” Susah payah Mello mengucapkannya, sementara rohnya bagai tersedot mata malaikat maut di hadapannya. “Melakukan cangkok itu, sudah mustahil” Mello memejamkan matanya namun sia-sia, karena dia masih dapat merasakan tangan Mello mencengkram lengannya erat, darah dari lengan merembes melewati pakaian ke kulitnya. Kali ini dia telah kehilangan kuasa. Permainan yang membuatnya di atas angin beberapa saat yang lalu kini membuatnya jatuh ke dalam neraka sang pembunuh.
“Bukan kau yang memutuskannya tuan Consigliere” sisi Matt sang otaku hilang entah kemana, yang tersisa hanyalah Kira. Makhluk yang tercipta oleh dendam dan kebencian. Makhluk yang akan membunuh semua yang menyakiti orang-orang tercintanya. “Kau cukup beritahu aku namanya… sisanya aku yang bereskan” aura pembunuh yang disebarkannya begitu pekat memenuhi ruangan
Mello menarik nafas panjang. Tenangkan diri, ini bukan pertama kali aku bertemu makhluk haus darah. Anggap saja dia bajingan kecil yang mengamuk. Dia kunci kematian Mello, aku tak boleh melepaskannya begitu saja… tenangkan diri. Namun kunci kotak penyimpanan emosinya telah rusak oleh Matt. Begitu dia membuka matanya kembali, dia memberikan tatapan menantang penuh emosi pada Matt… bukan… tapi mata tantangan untuk Kira.
“Kau tahu aturannya kan pembunuh busuk?” Mello meninggikan suaranya. “Tidak ada yang gratis…”
Matt menyiripkan matanya. “Kau memang orang atas. Semua yang melihatku selalu terkencing-kencing, kehilangan suara untuk bicara dan menangis ketakutan, merengek padaku seperti bayi… memohon ampun. Mereka mengatakan semuanya… tak ada negosiasi. Katakan dan mati”.
“Jangan samakan aku dengan sampah-sampah itu” Mello balik mencengkram lengan kekar yang menahannya.”Lagipula, memang kematian yang kuinginkan.”
“Masochist” Matt mempererat cengkramannya. “Kalau begitu kau tak keberatan kubunuh di sini kan?”
“Silahkan saja…” Kepala yang angkuh menengadah, menunjukkan lehernya yang jenjang.
Tangan sang pembunuh lepas dari lengan Mello. “Baiklah kalau itu maumu…” dari tangan yang masih meneteskan darah terlihat kotak pipih berwarna hitam dengan ukiran huruf di permukaannya. Matt menggenggam badan pematik kenangan dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya membuka tutup pematik dengan keras seperti mematahkan pensil. “TrakK” suara tutup pematik patah dari badannya. Dari bagian yang ‘patah’ terlihat benang tipis keperakan menghubungkan badan pematik dengan tutupnya. Matt menarik benang perak lalu melilitkannya dua kali di masing-masing tangan dan merentangkannya. Matanya mengamati benang yang mengkilat tanpa noda.
"kau tahu terlalu banyak.."
“Aku suka mekanisme ‘senjatamu’ Kira. Pada dasarnya tutup pematik hanya akan terbuka 90 derajat dari posisi awal dan bila dipaksakan dia akan rusak. Tutup pematikmu beda, bila di buka 180 derajat, dia akan menunculkan benang perak tajam. Tapi sistem benang secara otomatis kembali ke dalam badan pematik jika kau tak menarik penutupnya terlalu kuno, mengingatkanku pada pengukur jalan”. Mello menyentuh lehernya perlahan seolah mengucapkan selamat tinggal. Sang mafia merasa marah pada dirinya. Seharusnya dia bisa menang mudah dari siapapun, tapi kini dia harus berhadapan dengan Kira dalam mind games, mempertaruhkan keinginan seumur hidupnya.
“Sudah menyelidikinya, huh?” Matt menatap lekat pada leher Mello. “Itu menjelaskan kenapa tak ada darah tersisa dibenang perakku…Darah dari korban malam natal itu.” Gogel turun dari atas kepalanya ke depan mata. Dia berjalan ke belakang Mello dan melingkarkan benangnya ke leher sang target.
Tubuh Mello merinding senang ketika rasa dingin dari benang sampai ke lehernya. “Yeah. Menggunakan benda kenangan, seolah kau balas dendam bersama mereka. Konyol sekali Kira”.
“Yang konyol itu kalian, mafia!” Matt membiarkan benang peraknya melingkar di leher Mello dengan renggang, seolah mengalunginya. “Berfikir kalian kuat jika mengelompok, menghancurkan kehidupan orang demi kesenangan. Padahal itu hanya mempermudahku membunuh kalian”.
Rambut pirang Mello tersibak, memamerkan matanya yang berkilat dalam temaram cahaya ruangan. “Terlalu banyak bicara. Kapan kau akan membunuhku?”ada ketidak sabaran dalam suaranya.
Matt tertawa dan melepaskan Mello. “Maaf tuan Consigliere Chicago Outfit, atau mungkin lebih tepat kusebut agen rahasia organisasi bawah tanah yang terhubung ke seluruh mafia dan organisasi kejahatan di dunia?” Kira menikmati saat mata arogan itu nyalang, merasakan bahwa posisi mereka imbang.
“Jangan bilang kejahatan, beberapa usaha ada yang legal brengsek!” Mello duduk tegak begitu benang yang melingkari lehernya lepas. Dia menyingkirkan poni yang jatuh ke depan matanya. Rahasia yang dia simpan dalam ruang terkunci telah di intip oleh orang yang berbahaya. Ketegangan berdiri di ujung tebing menyergap dirinya. “Kau tahu terlalu banyak”
“Tidak terlalu banyak, namun cukup untuk melacak mereka” Pematik telah kembali ke bentuknya semula. Matt duduk kembali di kursinya, menatap wajah Misa lembut. “Tapi sekarang aku tak punya banyak waktu untuk itu. Aku harus menyelamatkannya, bagaimanapun aku sudah berjanji akan jadi pendamping pengantinnya”
Pernyataan Matt memberikan ruang yang luas, menutup jurang yang tadi terbentang di depan mata Mello. Sekali lagi dia merasakan angin kemenangan. “Aku anggap itu pernyataan kekalahanmu” Mello mengeluarkan sebatang coklat baru dan mulai memakannya. Seringai kemenangan tersungging.
Matt memejamkan matanya, mengembalikan warna hitam pada mata pembunuhnya. “Kalau kau tidak bodoh, kau tentu tahu kalau kau sama sekali tidak menang” Matt menyingkirkan gogel dari wajahnya. Saat sungguh-sungguh membalas dendam, ketenangan yang mengerikan menyelimutinya. Seperti udara yang diam sebelum badai, dan inilah yang dia rasakan sekarang. “Aku sama sekali tidak tahu alasanmu untuk mati, dan aku tidak peduli. Tapi maaf, aku tidak akan jatuh ke permainanmu. Aku tidak akan masuk menjadi pion dalam rencana besarmu tuan pengkhianat organisasi”.
Seringai kemenangan tak menyingkir. “Kau tidak menjadi pion, kau adalah raja dalam permainanku… permainan untuk melenyapkan Mello” dia mengatakannya dengan perlahan, dan berhasil membuat sudut alis Matt bergerak.
Pemuda gothic itu melihat jam tangan digitalnya. “Jam 07.07 am. Masih ada 16 jam 53menit, pikirkan baik-baik…”
“Sudah kubilang aku tak punya waktu sebanyak itu”
Mello mendengus. “Informasi Cuma-Cuma lagi? Kau tinggal setuju dan-”
“Aku tidak akan pernah terikat perjanjian dengan mafia, selamanya” Matt dengan kesungguhannya menghantam tembok pertahanan Mello.
“Dia calon Don berikutnya, cucu Don Samuel Carlisi – Sam The Wings. Kau tak akan bisa menyentuhnya,” Melihat ekspresi Matt terhadap kata-katanya, Mello tahu targetnya sudah masuk dalam telapak tangannya, tapi dengan tali yang menjerat lehernya. Kau akan lebih dulu mati sebelum membunuhku. Ini pertaruhan, mana yang lebih besar… cinta atau dendam di dalam dirimu.  
“Dia, saudara sedarah Misa. Namanya…”
Continued…
Kamus kecil:
Soal Consieglere dan Don akan mew bahas di bagian lain post supaya bisa jelas, ngga sepotong-sepotong.
a/n: Ini dia ending 5th kiss!! Buat kata-kata untuk mind gamesnya ribet, alnya harus mengandung clue kebenaran yang terselubung. (Oops, mew said it). Ceritanya agak meleset dari draft awal mew, harusnya angst tapi… root Mew komedi sih… silahkan meninggalkan comment jika berkesan


Read Kill Me Kiss Me ~ First encounter (6th Kiss)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar kamu di sini